Selamat Datang, Welcome, Bienvenidos,Benvenuto, Bem-vindo, Willkommen, MarHaban, Hos geldiniz...

Sabtu, 21 September 2013

Menguji Ketahanan Negeri Impian

Indonesia tengah berduka. Nilai Rupiah yang beberapa waktu melemah tak jua beranjak, bahkan hari ini rupiah telah mencapai Rp 11.674 per dollar AS. Ini titik terendah dalam 4 tahun terakhir. Neraca berjalan yang mengalami defisit selama 7 triwulan, tidak memunculkan tanda-tanda akan terhenti, bahkan terus meningkat. Defisit yang sudah mencapai 5.819 miliar dollar AS pada triwulan II meningkat drastis mencapai 9.848 milliar dollar AS pada triwulan III. Kabar terbaru juga tak kalah menyedihkan. Gabungan koperasi tempe tahu Indonesia (Gakoptindo) yang mewakili 114.547 pengrajin sepakat untuk mogok produksi.
Tentu masih hangat di ingatan kita bagaimana Indonesia dijuluki negeri agraris karena dominasi sektor pertanian. Bahkan Koes Plus mengibaratkan tanah air ini sebagai tanah surge, dimana tongkat kayu pun jika ditancapkan akan menjadi tanaman. Faktanya, dari beras hingga singkong pun kita harus impor. Selain kedelai yang akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan terpanas, tentu kita tidak lupa dengan panasnya isu impor daging sapi dan bawang beberapa waktu yang lalu.

sumber: http://kibas-ilalang.blogspot.com

Miris Negeri Agraris
Dalam logika teori ekonomi, negeri yang perekonominya terbuka sangat rawan (vulnerable) terhadap guncangan di dunia luar, baik politik maupun ekonomi. Masalah ekonomi, pelemahan rupiah yang diprediksi akan terus berlanjut, akan sangat memengaruhi keadaan ekonomi dalam negeri. Dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional, Kementerian Perdagangan telah menyetujui kebijakan strategis terkait impor komoditas pangan, yakni  Permendag Nomor 24 tahun 2013, Permendag Nomor 16 tahun 2013, dan Permendag Nomor 46 Tahun 2013. Kebijakan ini pada intinya membuka keran impor untuk menjaga stock dalam negeri sehingga diharapkan akan menjaga tingkat harga.
Impor yang terus berlanjut tentu akan membawa berbagai dampak. Dalam kerangka rupiah yang terus melemah, dibukanya keran impor berarti membuka pintu untuk datangnya gejolak perekonomian. Impor kedelai misalnya. Impor kedelai yang menggunakan standar harga dollar AS, akan membuat harga kedelai impor membumbung. Maka dapat diprediksi rencana mogok oleh produsen tempe tahu akan benar-benar dijalankan dan bukanlah “gertak sambal”.

Tingginya ketergantungan akan impor bahan pangan di Indonesia sejatinya merupakan bentuk kegagalan pengelolaan negeri yang mempunyai semua kriteria untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan. Selama ini, pemerintah terkesan enggan menggunakan analisis jangka panjang dalam menentukan kebijakan. Kekurangan ketersediaan pangan direspons dengan membuka keran impor. Dalam jangka pendek, kebijakan semacam ini mungkin memiliki pembenaran dari sisi tingginya kebutuhan dalam negeri. Namun dalam jangka panjang, jangan heran jika negeri (yang katanya) agraris ini tak lagi memiliki petani. Ya, negeri bertanah surga tengah diuji kedaulatannya. Ketahanan negeri impian tengah dipertanyakan.