Selamat Datang, Welcome, Bienvenidos,Benvenuto, Bem-vindo, Willkommen, MarHaban, Hos geldiniz...

Selasa, 11 Juni 2013

Peran Kebijakan Bidang pendidikan dalam Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu isu paling krusial dalam pembangunan ekonomi suatu negara, bahkan dunia. Saking krusialnya, para ahli berdebat mengenai perspektif yang mereka gunakan dalam menganalisis kemiskinan ini.
Sumber: sutardjo40.wordpress.com

Old paradigm memandang kemiskian adalah hasil dari ketidakberdayaan sendiri, serta kurangnya usaha untuk lepas dari jerat kemiskinan. Sehingga solusi2 yang ditawarkan dalam meminimalisir kemiskinan hanya berkutat pada peningkatan kemampuan diri si miskin agar mampu mengentaskan dirinya sendiri dari jerat kemiskinan. Hal ini berbeda dengan pandangan kaum new paradigm yang memandang kemiskinan merupakan hasil dari ketidakberdayaan si miskin di percaturan politik. Mereka memandang kemiskinan yang disandang penduduk miskin adalah akibat dari lingkungan politik yang tidak memberikan kesempatan bagi si miskin untuk mengambil peluang yang timbul dari pertumbuhan ekonomi.


Penduduk menjadi miskin karena lingkungan yang tidak dapat dikontrol. Sehingga solusi yang ditawarkan kelompok inipun berbeda dari kamum old paradigm. Jika old paradigm berkutat pada peningkatan kemampuan si miskin, kaum strukturalis (new paradigm) memfokuskan gagasannya pada revolusi sistem politik dan lingkungan yang melingkupi keadaan penduduk miskin. Menurut kaum strukturalis, pemerintah harus aktif, dan dibantu dengan kemauan penduduk miskin untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Keadaan politik nyatanya juga berpengaruh terhadap pembentukan penduduk miskin. Suasana politik yang kondusif kebijakan yang pro poor diharapkan mampu mengentaskan penduduk miskin. Kebijakan yang cenderung tidak memerhatikan penduduk miskin berpeluang memarjinalisasi kelompok penduduk yang sudah terpinggirkan.

Pada suatu sore, di lahan parkir salah satu rumah sakit swasta di Semarang, saya bertemu dengan seorang anak. Anak ini masih berbaju merah-putih khas sekolah dasar, dengan baju yang masih rapih (dimasukkan kedalam celana), tanpa sepatu. Ia menawarkan (dan sedikit memaksa) saya untuk membeli sebuah koran. Saya melihat koran apa yang bocah ini tawarkan, dan ternyata harian wawasan. Saya tidak tertarik dengan koran ini, namun saya tertarik menyelidiki lebih jauh mengenai bocah berseragam ini. Ia membanderol korannya Rp 3.000,00 per eksemplar. Harga yang menurut saya tidak relevan, sedangkan di kampus saya bisa mendapatkan harian Kompas dengan harga lebih rendah, Rp 2.000,00. Namun sekali lagi, saya sama sekali tidak tertarik dengan koran yang ia tawarkan. Saya tertarik dengan bocah yang menjualnya.

Saya pun protes dengan harga yang menurut saya terlalu mahal untuk ukuran Koran Wawasan. Namun jawaban si anak membuat saya terenyuh. Ia bilang, “Saya juga cari untung mas”. Ia menjawab protes saya sambil menunduk. Memang sudah beberapa kali saya ditawari Koran oleh seorang bocah di tempat yang sama. Namun yang membuat saya tertarik adalah si anak masih menggunakan seragam sekolahnya. Kemudian saya tanya beberapa hal kepadanya. Sekolah dimana, kelas berapa, apa pekerjaan orang tuanya hingga dia menjual Koran, rumahnya dimana, siapa yang menyuruhnya menjual Koran, adalah beberapa pertanyaan yang saya ajukan secara. Saya berondong beberapa pertanyaan sensitif tersebut, si anak menjelaskan semuanya dengan muka tertunduk. Ia siswa kelas 6 di sebuah sekolah negeri di kawasan sekitar rumah sakit tempat saya berobat. Orang tua yang bekerja serabutan membuatnya terpaksa menjual Koran. Dan uniknya, hal tersebut atas inisiatifnya sendiri, demi mendukung biaya sekolahnya.

Yang saya ingin dapatkan dari si anak adalah apakah ia ingin melanjutkan sekolahnya (SMP) atau tidak. Dan jawaban yang saya dapatkan cukup mencengangkan. Ketika saya berondong dengan pertanyaan sebelumnya, dia menjawab dengan menunduk, ketika saya tanya masalah masa depan pendidikannya, si anak penjual Koran menjawabnya dengan tegas. “Mau mas,  saya mau lanjut SMP”, tegasnya.

Jawaban bocah penjual Koran yang penuh gairah untuk melanjutkan jenjang pendidikannya saya maknai sebagai semangat fighting spirit. Dengan keterbatasan ekonomi, ia berani bermimpi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dengan menjual Koran.

Dalam kajian perspektif kemiskinan, kasus yang dialami si anak penjual Koran dapat dikategorikan dalam political system, yakni jerat kemiskinan yang disebabkan oleh sistem politik dan kebijakan yang diterapkan negara. Kebijakan yang dimaksud adalah biaya pendidikan yang tinggi. Penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang disalurkan kepada sekolah pun rentan dengan penyelewengan. Studi yang dilakukan Satya (2011) menunjukkan bahwa peran dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pengawasan  penyaluran dana BOS masih  rendah,  hal  tersebut  ditunjukkan  dari  masih  kurangnya  perhatian pemerintah terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh sekolah. Pengawasan oleh masyarakat juga tergolong lemah, hal ini ditunjukkan oleh kurangnya respon masyarakat dalam hal kekurangtahuan masyarakat mengenai tujuan BOS, jumlah BOS  yang  diterima  oleh  sekolah,  dan  kurangnya  keingintahuan  masyarakat mengenai penggunaan dana BOS yang ditunjukkan dengan 75% responden tidak pernah  mencari  informasi  mengenai  penggunaan  dana  BOS  di  sekolah  yang bersangkutan.


Pengawasan terhadap dana BOS yang minim dapat berakibat penyelewengan dana BOS, yang implikasinya adalah kemungkinan penarikan dana oleh pihak sekolah kepada wali murid. Tentu hal ini akan menyulitkan penduduk miskin. Belum lagi sistem pemberian dana BOS adalah per siswa. Sekolah yang tidak favorit biasanya hanya memiliki sedikit siswa, sehingga mendapatkan dana operasional yang sedikit. Padahal mereka membutuhkan suntikan dana yang cukup untuk memperbaiki kualitas. Jika biaya pendidikan tinggi, si anak yang ketika SD saja harus menjual Koran untuk membiayai sekolahnya, berpeluang tidak dapat melanjutkan SMP karena kurangnya dana. Padahal pendidikan merupakan jalan bagi penduduk miskin untuk dapat meningkatkan keterampilan sehingga dapat menggunakan peluang-peuang yang muncul karena pertumbuhan ekonomi, sehingga pada akhirnya mampu lepas dari jerat kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar