Indonesia tengah
berduka. Nilai Rupiah yang beberapa waktu melemah tak jua beranjak, bahkan hari
ini rupiah telah mencapai Rp 11.674 per dollar AS. Ini titik terendah dalam 4 tahun
terakhir. Neraca berjalan yang mengalami defisit selama 7 triwulan, tidak
memunculkan tanda-tanda akan terhenti, bahkan terus meningkat. Defisit yang
sudah mencapai 5.819 miliar dollar AS pada triwulan II meningkat drastis
mencapai 9.848 milliar dollar AS pada triwulan III. Kabar terbaru juga tak
kalah menyedihkan. Gabungan koperasi tempe tahu Indonesia (Gakoptindo) yang
mewakili 114.547 pengrajin sepakat untuk mogok produksi.
Tentu masih
hangat di ingatan kita bagaimana Indonesia dijuluki negeri agraris karena
dominasi sektor pertanian. Bahkan Koes Plus mengibaratkan tanah air ini sebagai
tanah surge, dimana tongkat kayu pun jika ditancapkan akan menjadi tanaman. Faktanya,
dari beras hingga singkong pun kita harus impor. Selain kedelai yang
akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan terpanas, tentu kita tidak lupa
dengan panasnya isu impor daging sapi dan bawang beberapa waktu yang lalu.
sumber: http://kibas-ilalang.blogspot.com |
Miris Negeri Agraris
Dalam logika teori
ekonomi, negeri yang perekonominya terbuka sangat rawan (vulnerable) terhadap guncangan di dunia luar, baik politik maupun
ekonomi. Masalah ekonomi, pelemahan rupiah yang diprediksi akan terus
berlanjut, akan sangat memengaruhi keadaan ekonomi dalam negeri. Dalam rangka
menyelamatkan perekonomian nasional, Kementerian Perdagangan telah menyetujui
kebijakan strategis terkait impor komoditas pangan, yakni Permendag Nomor 24 tahun 2013, Permendag Nomor
16 tahun 2013, dan Permendag Nomor 46 Tahun 2013. Kebijakan ini pada intinya
membuka keran impor untuk menjaga stock
dalam negeri sehingga diharapkan akan menjaga tingkat harga.
Impor yang terus
berlanjut tentu akan membawa berbagai dampak. Dalam kerangka rupiah yang terus
melemah, dibukanya keran impor berarti membuka pintu untuk datangnya gejolak
perekonomian. Impor kedelai misalnya. Impor kedelai yang menggunakan standar
harga dollar AS, akan membuat harga kedelai impor membumbung. Maka dapat
diprediksi rencana mogok oleh produsen tempe tahu akan benar-benar dijalankan
dan bukanlah “gertak sambal”.
Tingginya
ketergantungan akan impor bahan pangan di Indonesia sejatinya merupakan bentuk
kegagalan pengelolaan negeri yang mempunyai semua kriteria untuk mencapai kedaulatan
dan ketahanan pangan. Selama ini, pemerintah terkesan enggan menggunakan
analisis jangka panjang dalam menentukan kebijakan. Kekurangan ketersediaan
pangan direspons dengan membuka keran impor. Dalam jangka pendek, kebijakan
semacam ini mungkin memiliki pembenaran dari sisi tingginya kebutuhan dalam
negeri. Namun dalam jangka panjang, jangan heran jika negeri (yang katanya) agraris ini tak lagi memiliki
petani. Ya, negeri bertanah surga tengah diuji kedaulatannya. Ketahanan negeri
impian tengah dipertanyakan.