Selamat Datang, Welcome, Bienvenidos,Benvenuto, Bem-vindo, Willkommen, MarHaban, Hos geldiniz...

Jumat, 30 Desember 2011

Hiduplah Diary Digital

Tak kurang dari 6 bulan “diary digital” ini tak terisi, buku harian ini tak terurus. Dengan segala alasan, pemilik tak lagi terbuka dengan buku hariannya sendiri. Namun akumulasi kegerahan timbul setelah penulis merasa kesulitan mengapresiasikan ide, pemikiran, kritikan, pun singgungan ke dalam media yang mudah, murah dan dapat dipublikasikan alias dibaca oleh publik. Kegerahan yang terakumulasi membuat penulis kembali ke dunia yang sudah lama tertinggalkan jika tidak ingin disebut ditinggalkan.

Tak pelak, diary digital ini hanyalah akan menjadi penyalur hasrat singgungan jika penulis merasa ingin menyinggung, krtitikan saat penulis ingin mengkritik, pun apaoun yang sifatnya berasal dari subjektivitas penulis. Namun sebagai insan yang terididik, rasanya sulit untuk memastikan segala singgungan, kritikan, pun tulisan apapun yang tercantum di diary digital ini tanpa dasar. 

Namun apapun itu, tulisan ini tak lebih hanyalah refleksi dari keinginan penulis memperkaya diri akan pemikiran dengan cara menulis. Semoga kegerahan ini terus terjaga sehingga sang diary digital tak lagi tertinggal.

Antara status guru besar dan profesionalitas dosen. Adakah trade off?

Ketika bertitel “profesor”, seorang dosen bukan hanya memiliki skill dan performa mengajar yang prima, namun ia juga dituntut memiliki integritas tinggi dalam mengabdi kepada negara melalui kemampuannya akademisnya. Memang tidak mudah membagi waktu antara kesibukannya sebagai pemilik titel profesor sebagai implikasi dari kemampuan akademis yang hebat yang pasti memiliki kegiatan berjubel, dengan tugas asli sebagai dosen, yaitu membagi ilmunya kepada mahasiswa.

Namun, tak jarang kegiatan yang tidak bisa dibilang sedikit untuk orang awam yang dihadapi profesor justru membuat sang pemilik titel guru besar justru melupakan esensi awal dari tugasnya sebagai tutor dalam perkuliahan. Kesibukan (atau keinginan menjadi sibuk) justru membuat dosen bertitel profeor jarang memasuki kelas/kuliah, dan mendelegasikan tugasnya sebagai dosen kepada asistennya yang sudah bisa dipastikan titelnya beberapa tingkat dibawah sang guru besar, karena tidak mungkin seorang profesor sudi menjadi asisten profesor yang lain.

Kamis, 29 Desember 2011

HMJ IESP SUKSES(I) SIAPA PEDULI

Telah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa (hanya) kurang dari setengah dari surat suara yang tersedia yang sah menjadi dukungan untuk calon ketua HMJ IESP UNDIP 2011. Eko Suryanto selaku panitia suksesi HMJ IESP mengungkapkan, dari 450 surat suara yang disediakan panitia, hanya 168 surat suara yang masuk. Apatisme mahasiswa mutlak disalahkan beberapa kalangan dalam hal sedikitnya surat suara yang masuk, pun sedikitnya mahasiswa yang menghadiri kampanye dialogis calon ketua HMJ IESP.

Kurangnya pendekatan personal dan persiapan acara ditengarai berkontribusi terhadap kurang pedulinya mahasiswa dengan  suksesi HMJ-nya sendiri. “Mungkin panitianya agak kurang siap. Tahu sendiri, acaranya molor dari dijadwalkan jam 9, mulainya jam 11,” tukas Noor Said, mahasiswa IESP 2010.

Kamis, 23 Juni 2011

APBD Untuk Klub Sepakbola VS Hak Rakyat

Telah bertahun-tahun klub sepakbola Indonesia mengandalkan APBD untuk membiayai biaya operasionalnya. APBD seolah-olah telah menjadi urat nadi yang begitu pentingnya untuk kelangsungan hidupnya. Padahal di satu sisi mereka mengklaim sebagai klub profesional. Namun benarkah sebuah klub dapat dikatakan profesional jika biaya untuk operasionalnya saja klub harus “mengemis” dana rakyat daerah yang seharusnya dialokasikan lebih untuk kesejahteraa rakyat.
Dilihat dari fungsinya, APBD prinsipnya tidak berbeda dengan fungsi APBN. Antara lain fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan otorisasi. Secara umum, semua fungsi APBD adalah untuk kepentingan rakyat. Namun dilihat dari sisi fungsi, penggunaan APBD adalah untuk kepentingan kelangsungan hidup klub sepakbola tidak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Inilah yang kemudian menjadi polemik, apakah sebuah daerah harus membiayai klub sepakbola yang berasal dari daerahnya atau tidak.
Apalagi jika realita yang terungkap saat ini adalah penyalahgunaan hibah APBD untuk biaya operasional klub yang malah digunakan untuk mengisi dompet pribadi seperti yang terjadi di beberapa daerah. Tidak cukup sampai disitu. Di beberapa daerah, anggaran dari APBD untuk klub sepakbola malah lebih besar dibanding anggaran untuk koperasi dan UKM. Padahal, justru UKM dan koperasi inilah yang sejalan dengan fungsi asli APBD itu. UKM dan koperasilah yang berperan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan mereka sendiri justru dianggarkan untuk klub sepakbola yang menurut penulis sangat tidak ada hubungannya denga kesejahteraan rakyat. Dan parahnya, dana tersebut tidak sedikit yang disalahgunakan petinggi klub tersebut.