Ketika bertitel “profesor”, seorang dosen bukan hanya memiliki skill dan performa mengajar yang prima, namun ia juga dituntut memiliki integritas tinggi dalam mengabdi kepada negara melalui kemampuannya akademisnya. Memang tidak mudah membagi waktu antara kesibukannya sebagai pemilik titel profesor sebagai implikasi dari kemampuan akademis yang hebat yang pasti memiliki kegiatan berjubel, dengan tugas asli sebagai dosen, yaitu membagi ilmunya kepada mahasiswa.
Namun, tak jarang kegiatan yang tidak bisa dibilang sedikit untuk orang awam yang dihadapi profesor justru membuat sang pemilik titel guru besar justru melupakan esensi awal dari tugasnya sebagai tutor dalam perkuliahan. Kesibukan (atau keinginan menjadi sibuk) justru membuat dosen bertitel profeor jarang memasuki kelas/kuliah, dan mendelegasikan tugasnya sebagai dosen kepada asistennya yang sudah bisa dipastikan titelnya beberapa tingkat dibawah sang guru besar, karena tidak mungkin seorang profesor sudi menjadi asisten profesor yang lain.
Pendelegasian tugas ini akan membuat status guru besar sang dosen ini seolah menjadi percuma. Status guru besar seharusnya semakin membuat pemilik status tersebut terbebani jika ternyata mahasiswanya banyak merasakan kekecewaan atas “servis” yang tidak memuaskan dari sang dosen. Seharusnya status guru besar—yang otomatis memiliki kemampuan akademis lebih tinggi dari dosen yang lain—semakin membuat yang bersangkutan mempunyai kemampuan tinggi termasuk dalam pengaturan jadwal dan waktu yang tepat untuk melaksanakan kegiatannya agar tidak mengganggu perkuliahan. Agar status guru besar tadi menjadi efektif dengan adanya transfer ilmu yang intens antar pemilik kemampuan akademis tinggi (profesor) dengan mahasiswa yang memerlukan tutor berkualitas tinggi, bukan sekedar asisten guru besar yang otomatis kemampuan akademisnya tak sebanding dengan sang profesor.
Jika ternyata pemberian status PROFESOR malah membuat dosen meninggalkan kewajiban awalnya sebagai tutor dalam perkuliahan yang sangat berperan dalam transfer ilmu dan pencerdasan anak muda penerus bangsa, lalu untuk apa status guru besar itu? Bukannya mandat yang di emban dosen dari pembukaan UUD 1945 adalah pencerdasan? Jika yang terjadi justru sang dosen bertitel profesor melupakan perkuliahan, apakah tidak pantas jika ia di tuding melakukan kejahatan “kacang lupa kulitnya”? Jalan menjadi profesor adalah dengan perkuliahan, namun setelah mendapatkan titel yang membuatnya sangat disegani ia melupakan apa yang telah membuat dia mendapatkan gelar profesor. Bukankah gelar profesor itu diberikan agar sang pemilik semakin memiliki integritas yang tinggi kepada mahasiswanya? Apakah benar ada trade off antara status guru besar dengan profesionalitas dosen?
Entahlah.... Namun yang pasti, pelajar dan mahasiswa di Indonesia masih memiliki kehausan yang mendalam akan sosok dengan kemampuan akademis tinggi dan integritas serta loyalitas yang tak diragukan, bukan hanya sosok berkacamata kuda setelah mendapatkan gelar profesor. Serta sosok egois yang hanya mementingkan kesibukannya saja. Wahai para profesor, kami butuh ilmumu...jerit hati mahasiswa Indonseia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar