Telah bertahun-tahun klub sepakbola Indonesia mengandalkan APBD untuk membiayai biaya operasionalnya. APBD seolah-olah telah menjadi urat nadi yang begitu pentingnya untuk kelangsungan hidupnya. Padahal di satu sisi mereka mengklaim sebagai klub profesional. Namun benarkah sebuah klub dapat dikatakan profesional jika biaya untuk operasionalnya saja klub harus “mengemis” dana rakyat daerah yang seharusnya dialokasikan lebih untuk kesejahteraa rakyat.
Dilihat dari fungsinya, APBD prinsipnya tidak berbeda dengan fungsi APBN. Antara lain fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan otorisasi. Secara umum, semua fungsi APBD adalah untuk kepentingan rakyat. Namun dilihat dari sisi fungsi, penggunaan APBD adalah untuk kepentingan kelangsungan hidup klub sepakbola tidak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Inilah yang kemudian menjadi polemik, apakah sebuah daerah harus membiayai klub sepakbola yang berasal dari daerahnya atau tidak.
Apalagi jika realita yang terungkap saat ini adalah penyalahgunaan hibah APBD untuk biaya operasional klub yang malah digunakan untuk mengisi dompet pribadi seperti yang terjadi di beberapa daerah. Tidak cukup sampai disitu. Di beberapa daerah, anggaran dari APBD untuk klub sepakbola malah lebih besar dibanding anggaran untuk koperasi dan UKM. Padahal, justru UKM dan koperasi inilah yang sejalan dengan fungsi asli APBD itu. UKM dan koperasilah yang berperan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan mereka sendiri justru dianggarkan untuk klub sepakbola yang menurut penulis sangat tidak ada hubungannya denga kesejahteraan rakyat. Dan parahnya, dana tersebut tidak sedikit yang disalahgunakan petinggi klub tersebut.
Data menunjukkan pada 2009 Persisam Samarinda mendaptakan 15 miliar rupiah dari APBD, sementara untuk kebutuhan UKM dan koperasi hanya dianggarkan 9,7 miliar. Pada 2009, PSM makasar mendapatkan 15 miliar sementara Anggarn untuk koperasi dan UKM hanya 1,5 miliar. Di tahun yang sama, Sriwijaya FC mendapatkan 7 miliar, sementara untuk koperasi dan UKM hanya 3 miliar. Dan yang paling dahsyat adalah persipura yang mendapatkan 10 miliar sedangkan untuk koperasi dan UKM nol.
Stelah diberi anggaran yang sangat tidak bisa dikatakan sedikit, pengelolaan klub sepakbola ini justru tidak menunjukkan grafik yang semakin profesional. Tidak sedikit klub sepakbola yang ternyata petinggi-petingginya adalah pejabat-pejabat daerah tempat klub berasal. Tidak lucu jika ternyata para petinggi inilah yang membuat anggaran APBD dapat cair melebihi besar anggaran untuk sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat.
Kembali ke masalah APBD dan klub sepakbola, FIFA sebenarnya juga melarang klub sepakbola profesional untuk menggunakan dana dari pemerintah. Jadi, jika klub sepakbola Indonesia masih ingin dianggap sebagai klub profesional, tidak seharusnya mereka menggunakan dana dari APBD.
Beberapa waktu yang lalu pemerintah resmi menghentikan pemberian dana untuk klub sepakbola. Peraturan ini dambil lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2011 yang menegaskan pada 2012 tidak ada lagi kucuran dana dari pemerintah untuk klub sepakbola. Permendagri ini seharusnya menjadi titik balik kebangkitan sepakbola Indonesia. Sebagai klub sepakbola yang profesional dan mandiri, klub sudah harus bisa lepas dari “kebaikan” pemerintah dengan APBD-nya. Selain menjadikan klub mandiri, permendagri ini juga seharusnya “menyadarkan” pemerintah untuk lebih memprioritaskan yang memang harus diprioritaskan. Kasihan jika ternyata rakyat membayar hanya untuk kelangsungan hidup klub sepakbola yang berasal dari daerahnya sedangkan dana yang untuk hal yang lebih menyentuh dengan kesejahteraannya hanya menjadi prioritas yang minor.
Subjektivitas penulis berpendapat, seharusnya dana hibah ini dialihfungsikan dari dana hibah menjadi saham di klub sepakbola Indonesia seperti yang sudah sejak lama terjadi di percaturan sepakbola di negara ain. Artinya, klub sepakbola harus menjadi badan usaha yang profesional yang go public. Dengan begitu, pemerintah dapat menanamkan sahamnya ke klub tersebut, sehingga bisa menjadi pendapatan lain untuk daerah dari deviden atas saham tersebut. Revolusi menjadi badan usaha ini berdampak kepada beberapa pihak. Untuk pemerintah, dana yang dulunya menjadi hibah untuk klub dapat dialihkan untuk hal yang lebih bersentuhan untuk pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk klub, kemandirian ini akan lebih mempermudah permodalan klub itu sendiri dengan saham yang dapat diperjualbelikan. Dengan perubahan ini, manajemen klub juga akan “dipaksa” profesional karena menyangkut profit dan kelangsungan klub itu sendiri.
Hendy Aprilian Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar