Selamat Datang, Welcome, Bienvenidos,Benvenuto, Bem-vindo, Willkommen, MarHaban, Hos geldiniz...

Kamis, 15 November 2012

Anak Bawang Anak Kampung (1)


Cuaca dingin pasca hujan, segelas cokelat hangat hangat favorit, tempat paling populer di kampusku, teringat 8 tahun 4 bulan yang lalu.

“Kalau kamu sekolah di Jogja, bapak yang antar kamu. Kalau kamu sekolah sambil mondok di jember, ibu yang antar kamu”.

Kalimat dengan nada rendah penuh seni intonasi khas pria bijak yang senantiasa lekat di pikiranku. Kalimat dengan sejuta arti yang mengawali perjuanganku hingga kini, dan kupastikan sampai nanti.

Kata-kata itu masih terbayang oleh pikiranku. Selalu. Jelas, jelas sekali. Dilisankan dengan nada penuh kesejukan karena ingin menyejukkanku. Diutarakan dengan penuh keikhlasan sebagai gerbang masa depanku. Di-nada-kan dengan seni intonasi karena ingin menenangkanku. Diucapkan penuh harap karena kepedulian akan kesuksesanku.

Tapi seperti apapun kata itu diutarakan tetap hanya 1 kata yang muncul diotakku untuk meresponnya; bingung. Bocah 11 tahun 3 bulan harus memilih pilihan besar. Dan jelas, tidak ada pilihan yang menarik untukku, kala itu.


Ya. Selepas SD, aku tidak punya pilihan yang menarik untuk kelanjutan sekolahku, sama sekali tidak. Jogja atau Jember? Keduanya sama. Sama-sama butuh alat transportasi lintas pulau.

Sedikit kuceritakan tentang tempat tinggalku. Rumahku dikepung oleh ribuan hektar hutan karet. Kehidupan masyarakatnya bergantung pada hasil sadapan karet. Berjarak sekitar 75 Km dari Pangkalan Bun, ibukota kabupatenku. Butuh waktu tak kurang dari 12 jam untuk sampai di Palangka Raya, ibukota provinsi tempat kami tinggal, Kalimantan Tengah. Listrik masuk ke desa kami waktu aku baru bisa bersepeda, sekitar 1996. Handphone? Aku bahkan pertama kali melihatnya langsung saat duduk di bangku SMP. Telepon pertama yang masuk di kampung kami, dalam rupa wartel, berbarengan dengan masa transisiku dari SD ke SMP. Akses? Jalan masuk desa kami merupakan aspal (tepatnya sisa aspal) peninggalan Soeharto yang didominasi liat dan batu. Kami salah satu korban ketimpangan pembangunan!

Tinggal di pelosok ternyata tak lantas membuat pikiran orang tuaku kerdil dalam hal pendidikan. Aku diwajibkan untuk tidak ber-SMP di sekolah terdekat. Bukan, bukan jarak orientasi mereka. Kualitas bagi mereka lebih penting daripada faktor lain, apalagi (sekedar) jarak. Bapak yang notabene wong Klaten mendorongku memilih Jogja. “kan dekat sama mbah”, jelasnya. Tapi ibunda memilihkan Jember untukku. “Sekalian mondok le (le : panggilan untuk anak laki-laki jawa)”, kata Ibu. Jelas. Jember-Jogja menghantui hari-hariku.

Akhirnya aku tidak memilih keduanya. Kutentukan sendiri pilihanku. “Aku sekolah di Pangkalan Bun aja Pak, Bu,” kataku tegas. Pangkalan Bun, kota (?) kecil ini disebut sebagai ibukota kabupaten kami, Kotawaringin Barat.  Berarti, 75 Km dari rumahku (Pangkalan Banteng). Aku pilih Pangkalan Bun karena; tidak harus menyeberang pulau. Nggak butuh kapal ataupun pesawat.

Karena telah memilih tempat yang sebenarnya bukan tempat rekomendasi orang tua, aku harus memilih SMP terbaik; SMP N 1 Arut Selatan. Itu pilihanku, hanya itu, tidak ada cadangan pilihan, tidak yakin lolos; hanya berpikir ikut tes, lalu sekolah. Tidak takut tidak lolos? Takut, pasti. Karena jika tidak lolos aku bakal dikirim ke Jawa. Takut, karena aku lulusan SD pelosok yang jauh dari kata terkenal ataupun mengenal (re:dunia). Tanpa fokus, kukerjakan soal tes SMP ku tanpa optimisme, pun psimisme. Hanya mengikuti perintah otak. Kerjakan yang benar, yang lain urusan belakang. Sesederhana itu pikiranku. Hasilnya, aku ada di peringkat 55 dari 180 orang yang diterima! Sukses besar mengingat sainganku adalah lulusan SD kota yang jelas lebih terkemuka dan lebih baik dari SD ku, dari segi apapun. Fasilitas (gedung, buku, alat tulis), jumlah pengajar (kualitas juga), segalanya. Hampir dapat kupastikan SD kami lebih tertinggal.

Setelah lulus SMP terbaik di kota, aku senang? Ya. Tapi tidak juga. Tidak senang karena tetap saja berpisah dengan orang tuaku! 75 km tanpa alat komunikasi apapun kecuali telepati dari Tuhan bukan alasan untuk bahagia. Sama sekali bukan! Uang yang sangat terbatas, merupakan pemeran pendukung dalam film hidup yang memojokkanku, juga merupakan alasan tambahan kesedihanku. Tapi tak lagi bisa berhubungan dengan orang tua dalam bentuk apapun, selama beberapa minggu, alasan tepat untuk depresi dan frustrasi bocah seumurku waktu itu. Ternyata dunia begitu tidak adil, pikirku waktu itu. Aku dijauhkan dari orang tua ketika umurku masih jauh dari dewasa. Untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Mengelola uangku yang sangat terbatas, untuk makan, jajan, sendiri. Untuk mencuci baju, sendiri. Menyetrika seragam, sendiri. Segalanya sendiri! Umurku masih 11 tahun 3 bulan waktu itu. Tentu aku belum siap mandiri kala itu.

Tertebak, aku bercucuran air mata ketika mencium tangan ibu bapakku kala pertama meninggalkan rumah demi sekolah. Ibuku menenangkan dengan gaya khas wanita dewasa yang lemah lembut penuh kesejukan, “Jangan nangis, kan mau sekolah. Biar pinter, biar jadi orang sukses.” Jelas terlihat getaran tubuh dan matanya mengiringi upayanya menenangkan deraian air mataku. Aku tak berdaya, makin sesenggukan menahan ledakan tangis.

Aku berangkat ke Pangkalan Bun tanpa kebahagiaan khas anak SMP yang sudah bosan dengan baju putih-merah. Sedikitpun tidak ada kebahagiaan diwajahku. Kesedihan berpisah dari hangat kasih orang tua membuatku mengutuk keberhasilanku masuk ke sekolah favorit. Sesak di dadaku menangguhkan bayangan senyum keluargaku yang bangga melihat bagian dari sebaran gen-nya melaju cepat ke arah pendidikan yang lebih mapan. “Pangkalan Bun adalah musibah Tuhan untukku”, kala itu pikiran bocahku berorasi demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar