Tak kurang dari 6 bulan “diary digital” ini tak terisi, buku harian ini tak terurus. Dengan segala alasan, pemilik tak lagi terbuka dengan buku hariannya sendiri. Namun akumulasi kegerahan timbul setelah penulis merasa kesulitan mengapresiasikan ide, pemikiran, kritikan, pun singgungan ke dalam media yang mudah, murah dan dapat dipublikasikan alias dibaca oleh publik. Kegerahan yang terakumulasi membuat penulis kembali ke dunia yang sudah lama tertinggalkan jika tidak ingin disebut ditinggalkan.
Tak pelak, diary digital ini hanyalah akan menjadi penyalur hasrat singgungan jika penulis merasa ingin menyinggung, krtitikan saat penulis ingin mengkritik, pun apaoun yang sifatnya berasal dari subjektivitas penulis. Namun sebagai insan yang terididik, rasanya sulit untuk memastikan segala singgungan, kritikan, pun tulisan apapun yang tercantum di diary digital ini tanpa dasar.
Namun apapun itu, tulisan ini tak lebih hanyalah refleksi dari keinginan penulis memperkaya diri akan pemikiran dengan cara menulis. Semoga kegerahan ini terus terjaga sehingga sang diary digital tak lagi tertinggal.