Cuaca dingin pasca hujan, segelas cokelat hangat hangat favorit, tempat paling populer di kampusku, teringat 8 tahun 4 bulan yang lalu.
“Kalau kamu sekolah di Jogja,
bapak yang antar kamu. Kalau kamu sekolah sambil mondok
di jember, ibu yang antar kamu”.
Kalimat dengan nada rendah penuh seni intonasi khas pria bijak yang senantiasa lekat di pikiranku. Kalimat dengan sejuta arti yang mengawali perjuanganku hingga kini, dan kupastikan sampai nanti.
Kata-kata itu masih terbayang oleh pikiranku. Selalu. Jelas, jelas sekali. Dilisankan dengan nada penuh kesejukan karena ingin menyejukkanku. Diutarakan dengan penuh keikhlasan sebagai gerbang masa depanku. Di-nada-kan dengan seni intonasi karena ingin menenangkanku. Diucapkan penuh harap karena kepedulian akan kesuksesanku.
Kalimat dengan nada rendah penuh seni intonasi khas pria bijak yang senantiasa lekat di pikiranku. Kalimat dengan sejuta arti yang mengawali perjuanganku hingga kini, dan kupastikan sampai nanti.
Kata-kata itu masih terbayang oleh pikiranku. Selalu. Jelas, jelas sekali. Dilisankan dengan nada penuh kesejukan karena ingin menyejukkanku. Diutarakan dengan penuh keikhlasan sebagai gerbang masa depanku. Di-nada-kan dengan seni intonasi karena ingin menenangkanku. Diucapkan penuh harap karena kepedulian akan kesuksesanku.
Tapi seperti apapun kata itu diutarakan
tetap hanya 1 kata yang muncul diotakku untuk meresponnya; bingung. Bocah 11 tahun 3 bulan harus memilih pilihan besar. Dan
jelas, tidak ada pilihan yang menarik untukku, kala itu.
Ya. Selepas SD, aku tidak punya
pilihan yang menarik untuk kelanjutan sekolahku, sama sekali tidak. Jogja atau
Jember? Keduanya sama. Sama-sama butuh alat transportasi lintas pulau.
Sedikit kuceritakan tentang
tempat tinggalku. Rumahku dikepung oleh ribuan hektar hutan karet. Kehidupan masyarakatnya
bergantung pada hasil sadapan karet. Berjarak sekitar 75 Km dari Pangkalan Bun,
ibukota kabupatenku. Butuh waktu tak kurang dari 12 jam untuk sampai di Palangka
Raya, ibukota provinsi tempat kami tinggal, Kalimantan Tengah. Listrik masuk ke
desa kami waktu aku baru bisa bersepeda, sekitar 1996. Handphone? Aku bahkan
pertama kali melihatnya langsung saat duduk di bangku SMP. Telepon pertama yang
masuk di kampung kami, dalam rupa wartel, berbarengan dengan masa transisiku
dari SD ke SMP. Akses? Jalan masuk desa kami merupakan aspal (tepatnya sisa
aspal) peninggalan Soeharto yang didominasi liat dan batu. Kami salah satu
korban ketimpangan pembangunan!
Tinggal di pelosok ternyata tak
lantas membuat pikiran orang tuaku kerdil dalam hal pendidikan. Aku diwajibkan
untuk tidak ber-SMP di sekolah terdekat. Bukan, bukan jarak orientasi mereka. Kualitas
bagi mereka lebih penting daripada faktor lain, apalagi (sekedar) jarak. Bapak yang
notabene wong Klaten mendorongku
memilih Jogja. “kan dekat sama mbah”, jelasnya. Tapi ibunda memilihkan Jember
untukku. “Sekalian mondok le (le : panggilan untuk anak laki-laki jawa)”, kata
Ibu. Jelas. Jember-Jogja menghantui hari-hariku.
Akhirnya aku tidak memilih
keduanya. Kutentukan sendiri pilihanku. “Aku sekolah di Pangkalan Bun aja Pak,
Bu,” kataku tegas. Pangkalan Bun, kota (?) kecil ini disebut sebagai ibukota
kabupaten kami, Kotawaringin Barat. Berarti,
75 Km dari rumahku (Pangkalan Banteng). Aku pilih Pangkalan Bun karena; tidak harus
menyeberang pulau. Nggak butuh kapal
ataupun pesawat.
Karena telah memilih tempat yang
sebenarnya bukan tempat rekomendasi orang tua, aku harus memilih SMP terbaik;
SMP N 1 Arut Selatan. Itu pilihanku, hanya itu, tidak ada cadangan pilihan, tidak
yakin lolos; hanya berpikir ikut tes,
lalu sekolah. Tidak takut tidak lolos? Takut, pasti. Karena jika tidak lolos
aku bakal dikirim ke Jawa. Takut, karena aku lulusan SD pelosok yang jauh dari
kata terkenal ataupun mengenal (re:dunia). Tanpa fokus, kukerjakan soal tes SMP
ku tanpa optimisme, pun psimisme. Hanya mengikuti perintah otak. Kerjakan yang
benar, yang lain urusan belakang. Sesederhana itu pikiranku. Hasilnya, aku ada
di peringkat 55 dari 180 orang yang diterima! Sukses besar mengingat sainganku
adalah lulusan SD kota yang jelas lebih terkemuka dan lebih baik dari SD ku,
dari segi apapun. Fasilitas (gedung, buku, alat tulis), jumlah pengajar
(kualitas juga), segalanya. Hampir dapat kupastikan SD kami lebih
tertinggal.
Setelah lulus SMP terbaik di
kota, aku senang? Ya. Tapi tidak juga. Tidak senang karena tetap saja berpisah
dengan orang tuaku! 75 km tanpa alat komunikasi apapun kecuali telepati dari
Tuhan bukan alasan untuk bahagia. Sama sekali bukan! Uang yang sangat terbatas, merupakan pemeran pendukung dalam film hidup yang memojokkanku, juga merupakan alasan tambahan kesedihanku. Tapi tak lagi bisa berhubungan dengan orang tua dalam bentuk apapun, selama beberapa minggu, alasan tepat untuk depresi dan frustrasi bocah seumurku waktu itu. Ternyata dunia begitu tidak
adil, pikirku waktu itu. Aku dijauhkan dari orang tua ketika umurku masih jauh
dari dewasa. Untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Mengelola uangku yang
sangat terbatas, untuk makan, jajan, sendiri. Untuk mencuci baju, sendiri. Menyetrika
seragam, sendiri. Segalanya sendiri! Umurku
masih 11 tahun 3 bulan waktu itu. Tentu aku belum siap mandiri kala itu.
Tertebak, aku bercucuran air mata
ketika mencium tangan ibu bapakku kala pertama meninggalkan rumah demi sekolah.
Ibuku menenangkan dengan gaya khas wanita dewasa yang lemah lembut penuh kesejukan, “Jangan
nangis, kan mau sekolah. Biar pinter, biar jadi orang sukses.” Jelas terlihat getaran
tubuh dan matanya mengiringi upayanya menenangkan deraian air mataku. Aku tak
berdaya, makin sesenggukan menahan ledakan tangis.
Aku berangkat ke Pangkalan Bun tanpa
kebahagiaan khas anak SMP yang sudah bosan dengan baju putih-merah. Sedikitpun
tidak ada kebahagiaan diwajahku. Kesedihan berpisah dari hangat kasih orang tua
membuatku mengutuk keberhasilanku masuk ke sekolah favorit. Sesak di dadaku
menangguhkan bayangan senyum keluargaku yang bangga melihat bagian dari sebaran
gen-nya melaju cepat ke arah pendidikan yang lebih mapan. “Pangkalan Bun adalah
musibah Tuhan untukku”, kala itu pikiran bocahku berorasi demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar