Di
dunia jurnalistik, sudah menjadi rahasia umum bahwa pers profesional bukanlah
satu-satunya “pemain”. Pers mahasiswa juga merupakan pemain (tetap) di kancah
percaturan jurnalistik. Keberadaannya yang kini terkesan terbang tenggelam
bukan merupakan alasan tepat untuk meniadakan peran pers mahasiswa di dunia
pers mahasiswa.
Pasang
Surut Pers Mahasiswa
Pada era orde baru, saat pers profesional terkekang, pers mahasiswa
merupakan ujung tombak pencerdasan masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kaum
terpelajar. Saat pers nasional terbelenggu sistem yang mengekang kebebasan
berpendapat dan penyampaian informasi, pers mahasiswa tampil sebagai alternatif
jitu. Pers mahasiswa tumbuh menjadi instrumen pencerdasan mahasiswa. Pers
mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari kritisnya mahasiswa dalam menanggapi
keadaan bangsa di era orde baru. Pers mahasiswa turut menjadi alat pengasah
idealisme mahasiswa, yang pada gilirannya mampu menumbangkan rezim yang sudah
32 tahun berkuasa. Pers mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari gerakan mahasiswa
hingga akhirnya mampu menjatuhkan orde baru kala pers profesional terkendala
ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) jika melawan. Pers
mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari kristalisasi idealisme mahasiswa saat
itu.
Kekuatan pers sebagai pilar
keempat demokrasi semakin kokoh pasca runtuhnya orde baru. Disahkannya UU nomor
Tahun 1999 tentang pers oleh presiden Habibie seakan menandai kembalinya
kekuatan pers. Bahkan pada pasal 4 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Dalam perjalanannya, kebebasan pers
yang (kembali) dijamin ini membuat pers profesional kembali naik ke permukaan. Keberadaan
pers profesional ini tampaknya membuat pers mahasiswa sebagai bagian tak
terpisahkan dari gerakan mahasiswa saat itu, harus menerapkan konsep back to campus. Ya, awak pers mahasiswa
seolah harus kembali ke bangku kuliah dan berkutat dengan kuliah. Pers
mahasiswa yang jelas kalah dari sisi SDM, bentuk dan profesionalitas organisasi,
serta pendanaan dari pers profesional
kembali harus “masuk goa”. Selain itu, popularitas pers profesional yang
menjalar di kalangan intelektual (baca: mahasiswa) semakin meredupkan kedudukan
pers mahasiswa.
Sumber: www.lpmedents.com |
Digitalisasi
Pers
Memasuki dekade kedua era
reformasi, keberadaan pers sebagai kontrol sosial seolah telah isu yang tabu
untuk diperdebatkan. Kebebasan pers dan pembredelan tidak lagi menarik untuk
diperbincangkan karena kebebasan pers seolah tak lagi terusik jika tidak bisa
dikatakan tak bisa diusik. Isu pembredelan telah tenggelam oleh isu yang dirasa
lebih krusial dan terkini, yakni digitalisasi
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan digitalisasi sebagai pemakaian sistem
digital. Dalam penggunaannya, digitalisasi umumnya digunakan dalam usaha
transformasi kedalam bentuk digital sesuatu yang sebelumnya berbentuk cetak.
Tampaknya, digitalisasi telah merasuk ke semua lini kehidupan, tak terkecuali
dunia jurnalistik. Di tataran dunia jurnalistik, istilah digitalisasi biasanya
diterapkan pada transformasi dari produk cetak menjadi bentuk yang dapat
dinikmati tanpa bentuk cetak.
Pers di era digital pada dasarnya
mengikuti perkembangan zaman: perkembangan teknologi yang meraja (internet, smartphone). Smartphone, PC tablet, dan internet menjadi penopang utama
digitalisasi pers. Kini makin banyak pers yang menyediakan versi digital dari
produk-produknya. Bahkan tak sedikit pers profesional yang mendigitalisasi
semua produknya karena lesunya penjualan untuk produk cetak.
Selain perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, “ke-instan-an” yang membudaya di kalangan manusia
modern membuat jalan revolusi pers ke ranah digital seolah tanpa hambatan.
Konsumen lebih menyukai berita-berita yang praktis. Konsumen lebih menyukai
membawa satu ponsel dengan koneksi internet yang membuatnya bisa mengakses
berita-berita di penjuru dunia, daripada membawa produk cetak yang membuatnya
merasa berat dan risih. Untuk berita cetak, makin lengkap makin tebal kertas
yang diperlukan. Hal ini berbeda dengan berita versi digital yang notabene
hanya membutuhkan ponsel pintar dan koneksi internet. Tentu hal ini memudahkan
konsumen.
Hal lain yang dirasa cukup
memberikan pengaruh besar terhadap berkembangnya pers di era digital adalah
merajalelanya media sosial di era internet. Tak dapat dipungkiri, media sosial
yang menjamur di Indonesia merupakan lahan manis yang dapat dimanfaatkan pers
untuk mengenalkan produknya.
Antara
Peluang dan Ancaman
Kebebasan di era digital
merupakan peluang untuk mengembalikan posisi pers mahasiswa sebagai instrumen
pengasah idealisme mahasiswa yang kian meluntur. Mungkin akan terasa sulit
mengembalikan posisi pers mahasiswa sebagai media pencerdas seluruh kalangan
masyarakat. Tidak lain tidak bukan, alasannya adalah besarnya kekuatan pers
profesional. Pers mahasiswa dengan SDM yang masih belajar, dan dengan produk
yang lecek bahkan tak berwarna,
terkesan hanya menjadi pelengkap pers profesional.
Konsumen lebih menyukai hasil produksi pers
profesional yang berwarna, berkertas licin, pewarnaan menawan, serta hasil foto
dari kamera canggih. Itu belum ditambah semakin rendahnya harga produk pers
karena menjamurnya lembaga jurnalistik profesional. Namun kekurangan itu dapat
diminimalir di era digital ini. Dengan dana yang tidak semahal mencetak, proses
digitalisasi seharusnya dapat dijadikan pijakan pers mahasiswa untuk
menghasilkan produk yang tidak “kalah” dari segi tampilan.
Peluang mengembalikan kejayaan
pers mahasiswa pun seakan terdukung dengan peran mahasiswa yang notabene adalah
pemuda yang tidak ingin dicap gaptek.
Ruang yang seakan tak terbatas di dunia maya seharusnya dapat dimaksimalkan
oleh para punggawa pers mahasiswa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas
tanpa mengacuhkan kuantitas. Ditambah lagi pasar pers mahasiswa juga cenderung
sejenis dengan punggawanya: mahasiswa. Maka sudah seharusnya awak-awak pers
mahasiswa mampu menciptakan produk berkualitas yang berguna dan sesuai bagi
pembacanya (mahasiswa).
Namun berbagai peluang diatas
tampaknya akan berbeda jika kasus digitalisasi pers ditelaah lebih jauh.
Peluang yang muncul di era digital ini ternyata merupakan peluang ditengah
himpitan berbagai ancaman untuk pers mahasiswa. Pada dasarnya, berbagai
permasalahan yang muncul di lembaga pers mahasiswa tersimpul pada masalah SDM.
Masalah sumber daya manusia ini kemudian terderivasi ke berbagai permasalahan
turunan. Maka jika peluang yang muncul di era digital tidak dapat dimaksimalkan
dengan mengasah kemampuan awak-awaknya, tidak mengherankan jika pers mahasiswa
nantinya hanya akan menjadi bagian dari sejarah, tidak lebih.
Di sisi berlainan, pers mahasiswa
selayaknya harus tetap hidup sebagai pengawal dinamika intelektual mahasiswa. Ujung
tombak penguak ide segar dari kalangan muda-terdidik. Sudah saatnya pers
mahasiswa kembali ranahnya, mencerdaskan mahasiswa. Sudah saatnya pers
mahasiswa kembali menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Mungkin bukan untuk
menjatuhkan rezim, karena jika boleh saya simpulkan, masalah terbesar bangsa
ini kini adalah pendidikan. Maka untuk mencapai mimpi besar tersebut, agenda
terdekat adalah menggunakan era digital untuk mengembalikan kejayaan pers
mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar