Selamat Datang, Welcome, Bienvenidos,Benvenuto, Bem-vindo, Willkommen, MarHaban, Hos geldiniz...

Selasa, 11 Juni 2013

Menatap Ancaman dalam Peluang Digitalisasi

Di dunia jurnalistik, sudah menjadi rahasia umum bahwa pers profesional bukanlah satu-satunya “pemain”. Pers mahasiswa juga merupakan pemain (tetap) di kancah percaturan jurnalistik. Keberadaannya yang kini terkesan terbang tenggelam bukan merupakan alasan tepat untuk meniadakan peran pers mahasiswa di dunia pers mahasiswa.

Pasang Surut Pers Mahasiswa
Pada era orde baru, saat  pers profesional terkekang, pers mahasiswa merupakan ujung tombak pencerdasan masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kaum terpelajar. Saat pers nasional terbelenggu sistem yang mengekang kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi, pers mahasiswa tampil sebagai alternatif jitu. Pers mahasiswa tumbuh menjadi instrumen pencerdasan mahasiswa. Pers mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari kritisnya mahasiswa dalam menanggapi keadaan bangsa di era orde baru. Pers mahasiswa turut menjadi alat pengasah idealisme mahasiswa, yang pada gilirannya mampu menumbangkan rezim yang sudah 32 tahun berkuasa. Pers mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari gerakan mahasiswa hingga akhirnya mampu menjatuhkan orde baru kala pers profesional terkendala ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) jika melawan. Pers mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari kristalisasi idealisme mahasiswa saat itu.


Kekuatan pers sebagai pilar keempat demokrasi semakin kokoh pasca runtuhnya orde baru. Disahkannya UU nomor Tahun 1999 tentang pers oleh presiden Habibie seakan menandai kembalinya kekuatan pers. Bahkan pada pasal 4 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Dalam perjalanannya, kebebasan pers yang (kembali) dijamin ini membuat pers profesional kembali naik ke permukaan. Keberadaan pers profesional ini tampaknya membuat pers mahasiswa sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa saat itu, harus menerapkan konsep back to campus. Ya, awak pers mahasiswa seolah harus kembali ke bangku kuliah dan berkutat dengan kuliah. Pers mahasiswa yang jelas kalah dari sisi SDM, bentuk dan profesionalitas organisasi,  serta pendanaan dari pers profesional kembali harus “masuk goa”. Selain itu, popularitas pers profesional yang menjalar di kalangan intelektual (baca: mahasiswa) semakin meredupkan kedudukan pers mahasiswa.

Sumber: www.lpmedents.com
Digitalisasi Pers
Memasuki dekade kedua era reformasi, keberadaan pers sebagai kontrol sosial seolah telah isu yang tabu untuk diperdebatkan. Kebebasan pers dan pembredelan tidak lagi menarik untuk diperbincangkan karena kebebasan pers seolah tak lagi terusik jika tidak bisa dikatakan tak bisa diusik. Isu pembredelan telah tenggelam oleh isu yang dirasa lebih krusial dan terkini, yakni digitalisasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan digitalisasi sebagai pemakaian sistem digital. Dalam penggunaannya, digitalisasi umumnya digunakan dalam usaha transformasi kedalam bentuk digital sesuatu yang sebelumnya berbentuk cetak. Tampaknya, digitalisasi telah merasuk ke semua lini kehidupan, tak terkecuali dunia jurnalistik. Di tataran dunia jurnalistik, istilah digitalisasi biasanya diterapkan pada transformasi dari produk cetak menjadi bentuk yang dapat dinikmati tanpa bentuk cetak.

Pers di era digital pada dasarnya mengikuti perkembangan zaman: perkembangan teknologi yang meraja (internet, smartphone). Smartphone, PC tablet, dan internet menjadi penopang utama digitalisasi pers. Kini makin banyak pers yang menyediakan versi digital dari produk-produknya. Bahkan tak sedikit pers profesional yang mendigitalisasi semua produknya karena lesunya penjualan untuk produk cetak.

Selain perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, “ke-instan-an” yang membudaya di kalangan manusia modern membuat jalan revolusi pers ke ranah digital seolah tanpa hambatan. Konsumen lebih menyukai berita-berita yang praktis. Konsumen lebih menyukai membawa satu ponsel dengan koneksi internet yang membuatnya bisa mengakses berita-berita di penjuru dunia, daripada membawa produk cetak yang membuatnya merasa berat dan risih. Untuk berita cetak, makin lengkap makin tebal kertas yang diperlukan. Hal ini berbeda dengan berita versi digital yang notabene hanya membutuhkan ponsel pintar dan koneksi internet. Tentu hal ini memudahkan konsumen.

Hal lain yang dirasa cukup memberikan pengaruh besar terhadap berkembangnya pers di era digital adalah merajalelanya media sosial di era internet. Tak dapat dipungkiri, media sosial yang menjamur di Indonesia merupakan lahan manis yang dapat dimanfaatkan pers untuk mengenalkan produknya.

Antara Peluang dan Ancaman
Kebebasan di era digital merupakan peluang untuk mengembalikan posisi pers mahasiswa sebagai instrumen pengasah idealisme mahasiswa yang kian meluntur. Mungkin akan terasa sulit mengembalikan posisi pers mahasiswa sebagai media pencerdas seluruh kalangan masyarakat. Tidak lain tidak bukan, alasannya adalah besarnya kekuatan pers profesional. Pers mahasiswa dengan SDM yang masih belajar, dan dengan produk yang lecek bahkan tak berwarna, terkesan hanya menjadi pelengkap pers profesional.

Konsumen lebih menyukai hasil produksi pers profesional yang berwarna, berkertas licin, pewarnaan menawan, serta hasil foto dari kamera canggih. Itu belum ditambah semakin rendahnya harga produk pers karena menjamurnya lembaga jurnalistik profesional. Namun kekurangan itu dapat diminimalir di era digital ini. Dengan dana yang tidak semahal mencetak, proses digitalisasi seharusnya dapat dijadikan pijakan pers mahasiswa untuk menghasilkan produk yang tidak “kalah” dari segi tampilan.

Peluang mengembalikan kejayaan pers mahasiswa pun seakan terdukung dengan peran mahasiswa yang notabene adalah pemuda yang tidak ingin dicap gaptek. Ruang yang seakan tak terbatas di dunia maya seharusnya dapat dimaksimalkan oleh para punggawa pers mahasiswa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas tanpa mengacuhkan kuantitas. Ditambah lagi pasar pers mahasiswa juga cenderung sejenis dengan punggawanya: mahasiswa. Maka sudah seharusnya awak-awak pers mahasiswa mampu menciptakan produk berkualitas yang berguna dan sesuai bagi pembacanya (mahasiswa).

Namun berbagai peluang diatas tampaknya akan berbeda jika kasus digitalisasi pers ditelaah lebih jauh. Peluang yang muncul di era digital ini ternyata merupakan peluang ditengah himpitan berbagai ancaman untuk pers mahasiswa. Pada dasarnya, berbagai permasalahan yang muncul di lembaga pers mahasiswa tersimpul pada masalah SDM. Masalah sumber daya manusia ini kemudian terderivasi ke berbagai permasalahan turunan. Maka jika peluang yang muncul di era digital tidak dapat dimaksimalkan dengan mengasah kemampuan awak-awaknya, tidak mengherankan jika pers mahasiswa nantinya hanya akan menjadi bagian dari sejarah, tidak lebih.

Di sisi berlainan, pers mahasiswa selayaknya harus tetap hidup sebagai pengawal dinamika intelektual mahasiswa. Ujung tombak penguak ide segar dari kalangan muda-terdidik. Sudah saatnya pers mahasiswa kembali ranahnya, mencerdaskan mahasiswa. Sudah saatnya pers mahasiswa kembali menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Mungkin bukan untuk menjatuhkan rezim, karena jika boleh saya simpulkan, masalah terbesar bangsa ini kini adalah pendidikan. Maka untuk mencapai mimpi besar tersebut, agenda terdekat adalah menggunakan era digital untuk mengembalikan kejayaan pers mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar