Kemiskinan
merupakan salah satu isu paling krusial dalam pembangunan ekonomi suatu negara,
bahkan dunia. Saking krusialnya, para ahli berdebat mengenai perspektif yang
mereka gunakan dalam menganalisis kemiskinan ini.
Sumber: sutardjo40.wordpress.com |
Old paradigm memandang kemiskian adalah hasil dari
ketidakberdayaan sendiri, serta kurangnya usaha untuk lepas dari jerat
kemiskinan. Sehingga solusi2 yang ditawarkan dalam meminimalisir kemiskinan
hanya berkutat pada peningkatan kemampuan diri si miskin agar mampu
mengentaskan dirinya sendiri dari jerat kemiskinan. Hal ini berbeda dengan
pandangan kaum new paradigm yang
memandang kemiskinan merupakan hasil dari ketidakberdayaan si miskin di
percaturan politik. Mereka memandang kemiskinan yang disandang penduduk miskin
adalah akibat dari lingkungan politik yang tidak memberikan kesempatan bagi si
miskin untuk mengambil peluang yang timbul dari pertumbuhan ekonomi.
Penduduk menjadi miskin karena lingkungan yang
tidak dapat dikontrol. Sehingga solusi yang ditawarkan kelompok inipun berbeda
dari kamum old paradigm. Jika old
paradigm berkutat pada peningkatan kemampuan si miskin, kaum strukturalis (new paradigm) memfokuskan gagasannya
pada revolusi sistem politik dan lingkungan yang melingkupi keadaan penduduk
miskin. Menurut kaum strukturalis, pemerintah harus aktif, dan dibantu dengan
kemauan penduduk miskin untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Keadaan
politik nyatanya juga berpengaruh terhadap pembentukan penduduk miskin. Suasana
politik yang kondusif kebijakan yang pro
poor diharapkan mampu mengentaskan penduduk miskin. Kebijakan yang
cenderung tidak memerhatikan penduduk miskin berpeluang memarjinalisasi
kelompok penduduk yang sudah terpinggirkan.
Pada
suatu sore, di lahan parkir salah satu rumah sakit swasta di Semarang, saya
bertemu dengan seorang anak. Anak ini masih berbaju merah-putih khas sekolah
dasar, dengan baju yang masih rapih (dimasukkan kedalam celana), tanpa sepatu.
Ia menawarkan (dan sedikit memaksa) saya untuk membeli sebuah koran. Saya
melihat koran apa yang bocah ini tawarkan, dan ternyata harian wawasan. Saya
tidak tertarik dengan koran ini, namun saya tertarik menyelidiki lebih jauh
mengenai bocah berseragam ini. Ia membanderol korannya Rp 3.000,00 per
eksemplar. Harga yang menurut saya tidak relevan, sedangkan di kampus saya bisa
mendapatkan harian Kompas dengan harga lebih rendah, Rp 2.000,00. Namun sekali
lagi, saya sama sekali tidak tertarik dengan koran yang ia tawarkan. Saya
tertarik dengan bocah yang menjualnya.
Saya
pun protes dengan harga yang menurut saya terlalu mahal untuk ukuran Koran
Wawasan. Namun jawaban si anak membuat saya terenyuh. Ia bilang, “Saya juga
cari untung mas”. Ia menjawab protes saya sambil menunduk. Memang sudah
beberapa kali saya ditawari Koran oleh seorang bocah di tempat yang sama. Namun
yang membuat saya tertarik adalah si anak masih menggunakan seragam sekolahnya.
Kemudian saya tanya beberapa hal kepadanya. Sekolah dimana, kelas berapa, apa
pekerjaan orang tuanya hingga dia menjual Koran, rumahnya dimana, siapa yang
menyuruhnya menjual Koran, adalah beberapa pertanyaan yang saya ajukan secara.
Saya berondong beberapa pertanyaan sensitif tersebut, si anak menjelaskan
semuanya dengan muka tertunduk. Ia siswa kelas 6 di sebuah sekolah negeri di kawasan
sekitar rumah sakit tempat saya berobat. Orang tua yang bekerja serabutan
membuatnya terpaksa menjual Koran. Dan uniknya, hal tersebut atas inisiatifnya
sendiri, demi mendukung biaya sekolahnya.
Yang
saya ingin dapatkan dari si anak adalah apakah ia ingin melanjutkan sekolahnya
(SMP) atau tidak. Dan jawaban yang saya dapatkan cukup mencengangkan. Ketika
saya berondong dengan pertanyaan sebelumnya, dia menjawab dengan menunduk,
ketika saya tanya masalah masa depan pendidikannya, si anak penjual Koran
menjawabnya dengan tegas. “Mau mas, saya
mau lanjut SMP”, tegasnya.
Jawaban
bocah penjual Koran yang penuh gairah untuk melanjutkan jenjang pendidikannya
saya maknai sebagai semangat fighting
spirit. Dengan keterbatasan ekonomi, ia berani bermimpi untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dengan menjual Koran.
Dalam
kajian perspektif kemiskinan, kasus yang dialami si anak penjual Koran dapat
dikategorikan dalam political system,
yakni jerat kemiskinan yang disebabkan oleh sistem politik dan kebijakan yang
diterapkan negara. Kebijakan yang dimaksud adalah biaya pendidikan yang tinggi.
Penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang disalurkan kepada
sekolah pun rentan dengan penyelewengan. Studi yang dilakukan Satya (2011)
menunjukkan bahwa peran dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pengawasan penyaluran dana BOS masih rendah,
hal tersebut ditunjukkan
dari masih kurangnya
perhatian pemerintah terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
sekolah. Pengawasan oleh masyarakat juga tergolong lemah, hal ini ditunjukkan
oleh kurangnya respon masyarakat dalam hal kekurangtahuan masyarakat mengenai
tujuan BOS, jumlah BOS yang diterima
oleh sekolah, dan kurangnya keingintahuan
masyarakat mengenai penggunaan dana BOS yang ditunjukkan dengan 75%
responden tidak pernah mencari informasi
mengenai penggunaan dana
BOS di sekolah
yang bersangkutan.
Pengawasan
terhadap dana BOS yang minim dapat berakibat penyelewengan dana BOS, yang
implikasinya adalah kemungkinan penarikan dana oleh pihak sekolah kepada wali
murid. Tentu hal ini akan menyulitkan penduduk miskin. Belum lagi sistem
pemberian dana BOS adalah per siswa. Sekolah yang tidak favorit biasanya hanya
memiliki sedikit siswa, sehingga mendapatkan dana operasional yang sedikit.
Padahal mereka membutuhkan suntikan dana yang cukup untuk memperbaiki kualitas.
Jika biaya pendidikan tinggi, si anak yang ketika SD saja harus menjual Koran
untuk membiayai sekolahnya, berpeluang tidak dapat melanjutkan SMP karena
kurangnya dana. Padahal pendidikan merupakan jalan bagi penduduk miskin untuk
dapat meningkatkan keterampilan sehingga dapat menggunakan peluang-peuang yang
muncul karena pertumbuhan ekonomi, sehingga pada akhirnya mampu lepas dari
jerat kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar