Pengangguran
telah bertransformasi menjadi salah satu masalah paling mengerikan di seluruh
dunia, selain kemisikinan. Analisis mainstream menyatakan keduanya saling
terkait. Para penganggur akan menjadi miskin jika tak kunjung mendapat
pekerjaan. Orang yang miskin akan melahirkan anak miskin, yang akan merasakan
pendidikan dan kesehatan tingkat rendah. Pada gilirannya, anak-anak miskin ini
akan melahirkan semakin banyak anak miskin. Ya, lingkaran setan kemiskinan.
Pada
perjalanannya, banyak yang berpendapat bahwa munculnya pengangguran disebabkan karena supply lapangan kerja tidak mencukupi tingginya jumlah para pencari
kerja. BPS
melansir, jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 7,2 juta
orang, atau sebesar 6,14 persen mengalami penurunan dibanding TPT (tingkat pengangguran terbuka) Februari 2012
sebesar 6,32 persen dan TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen. Jika ditelaah
lebih dalam, ada hal yang unik di data pengangguran Indonesia ini. Komposisi
pengangguran di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja lulusan SMA, SMK, bahkan
sarjana. Artinya, pengangguran yang berkembang di negara ini adalah para
penganggur terdidik.
Berbagai pemikiran
Masalah
pengangguran di Indonesia sebenarnya telah menjadi kajian publik, didengungkan
dari obrolan warung kopi hingga di seminarkan di hotel berbintang. Berbagai
pemikiran muncul akibat diskusi tersebut. Ada yang memikirkan bahwa
pengangguran merupakan hasil dari kegagalan negara menyiapkan lapangan kerja
yang setara dengan jumlah pencari kerja. Para pencetus ide ini dapat diprediksi
bertolak dari pasal 27 UUD 1945 bahwa warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak.
Ada
pemikiran lain yang menjelaskan bahwa sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia
merupakan pencetak pegawai, jadi jika negara gagal memberi lapangan kerja,
pengangguranlah dampaknya. Berbeda jika yang dicetak adalah pengusaha-pengusaha
muda pencetak lapangan kerja.
Pengertial
lain mencuat, bahwa pendidikan menghasilkan tenaga kerja yang tidak sesuai
dengan pasar. Implikasinya, lapangan kerja yang tersedia sia-sia karena
perbedaan keterampilan. Jikapun diterima, hasilnya adalah produktivitas tenaga
kerja bersangkutan yang dipertanyakan.
Ada
pula yang mencetuskan kebenciannya pada dunia pendidikan. Karena data yang
didengung-dengungkan adalah jumlah pengangguran terdidik yang meraja, pemikiran
yang berkembang di masyarakat adalah pendidikan telah menghasilkan para
penganggur. Lebih baik putus sekolah dengan kepastian kerja daripada lanjut
sekolah tanpa jaminan kerja yang pasti.
Keterkaitan
dunia pendidikan terhadap penyiapan tenaga kerja yang berkualitas memang sudah
tidak diragukan lagi. Sayangnya, ketergantungan pembangunan yang besar akan
dunia pembangunan justru tak terjawab. Berbagai permasalahan mencuat di dunia
pendidikan, ketika kebutuhan akan tenaga kerja yang terdidik nan terampil
semakin meningkat.
Berita
tentang keterpurukan dunia pendidikan Indonesia sudah sering menghiasi media
masaa maupun elektronik negeri ini. Dari UN yang (wakaupun rutin dilaksanakan)
selalu menghadirkan cerita miris,
ketimpangan infrastruktur di berbagai daerah, buku berbau pornografi
yang masuk di perpustakaan SD, merupakan sedikit dari berita buruk dunia
pendidikan kita.
Jika
bertolak dari dunia pendidikan yang terus terpupuk masalah, wajar jika
kepercayaan akan pendidikan di Indonesia semakin jatuh. Dan tidak heran kiranya
jika muncul kepercayaan di masyarakat bahwa pendidikan justru menghasilkan
pengangguran yang semakin tinggi. Kepercayaan seperti ini merupakan refleksi
dari keputusasaan masyarakat.
Butuh pencerahan
Keyakinan
yang menyebar di masyarakat bahwa semakin banyak tenaga kerja terdidik semakin
tinggi pengangguran, nyatanya didukung oleh keputusasaan pejabat negeri ini.
Apa pasal? Para petinggi bangsa tidak jarang mengungkapkan data tingkat
pengangguran di Indonesia yang diisi oleh tenaga kerja terdidik, tanpa
menjelaskan logika yang semestinya dipahami.
Sumber: BPS 2012, diolah |
Jika ditelaah lebih
jauh, pengangguran di Indonesia memang didominasi oleh pengangguran
terdidik. Jumlah pengangguran yang
berasal dari lulusan SD kebawah tidak lebih dari 10 persen. Sisanya adalah
lulusan SD keatas. Maka dari itu tidak heran jika struktur tenaga kerja kita
didominasi oleh tenaga kerja tidak terdidik.
Sumber: BPS 2012, diolah |
Pada
dasarnya, struktur tenaga kerja yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan
rendah dapat dipahami dari sudut pandang lain. Kenyataan ini didukung oleh
beberapa hal. Pertama, tenaga kerja terdidik tentu akan memilih pekerjaan yang
memberikan pendapatan tinggi karena tingkat pendidikannya dan menolak pekerjaan
dengan upah rendah. Berbeda dengan tenaga kerja berpendidikan rendah yang
memiliki lebih sedikit pilihan pekerjaan.
Kedua,
tenaga kerja berpendidikan ini pada umumnya didukung oleh orang tua yang masih
masih mampu membiayai, sehingga wajar mereka memilih menjadi penganggur
sukarela ketimbang memilih pekerjaan dengan gaji rendah. Hal ini bertolakbelakang
dengan keadaan rerata tenaga kerja berpendidikan rendah. Logika seperti ini
yang seharusnya ditanamkan dalam benak masyarakat. Jadi, bukan semata
keterpurukan dunia pendidikan yang menjadikan pengangguran berpendidikan
relatif lebih tinggi, namun ada hal-hal lain yang juga mesti dipertimbangkan.
Masyarakat
juga selayaknya diberi pemahaman yang komprehensif, bahwa tren yang terjadi
adalah peningkatan kontribusi tenaga kerja terdidik yang semakin meningkat
dalam komposisi tenaga kerja Indonesia (lihat gambar). Juga, negara ini sedang
menuju perbaikan dengan struktur tenaga kerja yang semakin terdidik.
Namun
diluar itu semua, kritik tentang dunia pendidikan memang sudah seharusnya
dilancarkan, demi perbaikan bangsa ini. Negara ini butuh pendidikan yang tak
sekedar mencetak pekerja. Merebaknya semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa
merupakan angin segar dunia pendidikan kita. Sehingga pendidikan kita tidak
harus mengikuti “pasar”, karena kewirausahaan berarti lapangan pekerjaan.
Negara ini memerlukan pendidikan yang berkualitas, tidak sekedar berorientasi
nilai untuk memenuhi syarat administrasi pekerjaan dan menuntut akademisi
menjadi antek-antek kaum pragmatis.
Kita
butuh pendidikan yang mengajarkan pelakunya berpikir sehat, cerdas, dan mampu
menyelesaikan masalah hidup. Yang tidak melulu pekerjaan, namun juga wawasan
dan kedewasaan. Jadi sudah selayaknya paradigma bahwa pendidikan merupakan
penyebab pengangguran harus dibuang jauh-jauh. Paradigma bahwa guru dan dosen
kita sedang mencetak para penganggur, adalah logika yang menunjukkan frustasi
akan dunia pendidikan. Maka sudah selayaknya, akademisi membuktikan bahwa kita
tidak sedang mendidik para calon penganggur
hedonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar