Desaku yang
kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan
bunda, dan handai taulanku
Tak mudah
kulupakan, tak mudah bercerai
Selalu kurindukan,
Desaku yang permai
Kita tentu tidak asing dengan
syair lagu di atas. Syair karya Ibu Soed
tersebut merupakan syair yang sering kita nyanyikan ketika di taman kanak-kanak
atau kala masih berseragam merah-putih.
Lagu bertajuk desaku tersebut
seolah menggambarkan desa merupakan suatu tempat yang tenang,damai, jauh dari
kebisingan kota. Kehidupan yang sarat makna kekeluargaan membuatnya (desa-red)
tak mudah tercerai berai. Berbeda dengan individualitas yang semakin menyeruak di
kota.
Selang waktu berganti, tampaknya keadaan
desa seperti yang tersirat dalam lagu desaku di atas perlu dipertanyakan. Perdesaan
sekarang terkesan hanya sekedar tempat berkeluh kesah. Tempat kembali jika telah
jenuh dengan hiruk pikuk kota. Desa tak lagi menjadi tempat yang “tak mudah
kulupakan”. Apa pasal? Desa tak lagi
menjadi tempat yang menarik untuk mencari nafkah!
Pada masa lebaran, dapat ditebak
hampir semua media (cetak maupun elektronik) akan mencatat sebuah fenomena:
migrasi dari desa ke kota. Arus balik akan dipenuhi oleh para pendatang yang
ter-iming kedatangan
sanak saudara yang mudik membawa harta benda hasil merantau di kota. Arus migrasi desa-kota ini
menyebabkan kota semakin penuh sesak.
Migrasi dari desa ke kota tak
lepas dari kajian ilmu ekonomi. Todaro menjelaskan, salah satu yang menyebabkan
adanya migrasi desa-kota adalah perbedaan upah. Penduduk akan bermigrasi ke
kota jika upah yang dharapkan di kota lebih tinggi daripada upah aktual di
desa. Dalam kondisi nyata, migrasi desa-kota juga disebabkan karena
infrastruktur di kota jauh lebih memadai daripada di desa.
Migrasi desa-kota secara terus
menerus menyebabkan penduduk perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Badan
Pusat Statistik memproyeksikan, pada tahun 2025 presentase jumlah penduduk
Indonesia yang tinggal di kota adalah sebesar 68 persen. Untuk beberapa
provinsi, terutama di Jawa dan Bali, persentasenya bahkan lebih tinggi dari
Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi (persentase penduduk perkotaan) di
empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen.
Jika ditilik lebih mendalam,
tingginya arus migrasi desa-kota ini merupakan ironi. Migrasi jenis ini justru
tumbuh subur di lingkungan otonomi daerah, yang berarti peran daerah menjadi
semakin besar dalam pemerintahan, kemandirian daerah untuk menciptakan
peluang-peluang ekonomi pun diharapkan semakin mencuat.
Efek dari desentraliasasi fiskal
dan otonomi daerah adalah meningkatnya transfer pemerintah pusat ke daerah
sejak 2001. Pertama, desentralisasi
menyebabkan transfer ke daerah meningkat dari 19 persen menjadi 24
persen di tahun 2001 (dan selanjutnya menjadi 31 persen pada tahun 2002).
Kedua, peningkatan persentase transfer terjadi lagi di tahun 2006 dari 30
persen menjadi 33 persen (Bank Dunia, 2007). Arus migrasi dari desa ke kota
terus tumbuh ditengah dana transfer untuk daerah cenderung meningkat.
Miris
negeri agraris
Selain lagu desaku, yang paling
menarik ketika kecil adalah slogan bahwa Indonesia adalah negeri agraris,
tanahnya subur. Hal ini diperkuat Koes Plus dengan memberi gelar “tanah surga”
kepada nusantara, saking suburnya negeri ini. Implikasinya, ketika diinstruksi menggambar
pemandangan, hampir semua anak menggambar sawah dengan dua gunung dan matahari
ditengahnya.
Kini konsep negara agraris
perlu dipertanyakan. Jika konsep agraris
menyangkut produksi, maka Indonesia tidak lagi negeri agraris karena penopang
perekonomian terbesar adalah sektor industri. Namun jika konsep negara agraris
adalah sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, mungkin
masih dapat ditolerir. Hal ini disebabkan sektor pertanian merupakan sektor
yang menyerap tenaga kerja tertinggi yakni sekitar 38,882,134 pada Agustus 2012
(BPS).
Terlepas dari perdebatan konsep
negara agraris, Indonesia dengan segala sumber daya alam yang melimpah
seharusnya mampu mandiri dalam hal pangan. Namun fakta membuktikan, beberapa
waktu terakhir panca indera warga
Indonesia justru tak bisa lepas dari warta bahwa Indonesia merupakan negara importir barang-barang pertanian.
Dari beras, bahkan singkong, hingga yang terakhir bawang. Berdasarkan
kesepakatan pada Agustus 2012, Kamboja akan mendatangkan 1 juta ton beras ke
Indonesia pada 2013 (Kompas, 1 November 2012). Untuk singkong, pada periode 2000-2011, rata-rata
impor singkong sebesar 146.055 ton per tahun (Kompas, 11 Desember 2012).
Sedangkan bawang, Indonesia akan mengimpor sebanyak 134.600 ton (Kompas, 14
Maret 2013).
Miris. Indonesia dengan segala
spesifikasi bawaan (baca: SDA) yang besar bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri. Dengan keadaan sektor pertanian yang kacau, tak heran jika
arus migrasi dari desa ke kota semakin deras. Orang akan lebih tertarik
berkecimpung di sektor non-pertanian karena hasilnya lebih besar. Jika terus
begini, tak heran jika nanti Indonesia akan semakin bergantung pada impor
produk pertanian.
Dalam hal ketimpangan desa-kota
yang menyebabkan migrasi, Todaro memberikan solusi berupa pembangunan desa
secara terpadu sehingga gap desa-kota
mengecil. Tak pelak, pembangunan sektor pertanian, hingga infrastruktur desa
yang membantu pengembangan merupakan agenda mendesak.
Sepertinya perlu ada revisi besar
di pameo dan lagu yang diajarkan untuk anak-anak zaman sekarang. Atau kita
ambil langkah sebaliknya, mengembalikan kejayaan masa lampau. Mengembalikan
peran sektor tradisional sebagai penopang melesatnya sektor industri. Ini juga
sebagai upaya mengembalikan kepercayaan, bahwa desaku yang kucinta masih
seperti sedia kala. Juga membuktikan pada dunia, bahwa Indonesia masih gemah
ripah loh jinawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar